welcome

welcome

Senin, 14 April 2014

“ASUS Notebook A44H Series Terbaik dan Favoritku”



Di tengah denyut globalisasi yang semakin hidup di berbagai Negara, menuntut saya untuk  melakukan segala sesuatu lebih cepat terutama dalam pendidikan saya di kampus, saya memutuskan untuk membeli sebuah notebook.  Setelah bertelisik mencari segala merk notebook yang dipajang, saya menjatuhkan pilihan pada ASUS A44H Series.  Tepat pada tanggal 27 April 2011,  notebook berwarna Glossy ini berada di pundakku dan telah aku miliki.  Bangga memiliki sebuah notebook yang sangat elegan. 
Aku memilih ASUS A44H Series karena spesifikasinya yang bagus, viewnya yang menawan dan Notebook ASUS A44H Series memiliki harga yang lebih murah dari pada notebook yang memiliki spesifikasi serupa.
Selain memiliki tampilan yang elegan,  ASUS A44H Series memudahkan saya untuk melakukan transfer data dan pengisian baterai dengan lebih cepat menggunakan USB 3.0 yang ada dalam notebook ini.
Tak ada kendala dengan gambar ataupun suara saat berselancar di galeri multimedia. mulai dari foto yang bagus sampai suara yang sangat jernih.
Tanpa menggunakan kipas pendingin, notebook ASUS A44H Series akan tetap dingin karena telah di lengkapi dengan IceCool jadi tak perlu khawatir ketika menggunakannya dalam waktu yang lama. Notebook ini sudah dilengkapi dengan  Prosesor Intel i3-2330 generasi ke 2.
Yang sangat membuat  aku senang adalah, selama 3 tahun aku memiliki notebook ini, Notebook belum pernah menangis minta di masukkan ke Rumah Sakit Reparasi Komputer. Hihihi....

yuk... kunjungi juga http://www.asus.com/id/Static_WebPage/ASUS_Blog_Contest/

Rabu, 31 Oktober 2012

Manusia Satu Kata

Hari yang cerah. Raja Mahendra pergi ke hutan untuk menguji kemampuannya berburu. Ia melarang para pengawal mengikutinya masuk ke hutan. Di tengah hutan, tampak seekor kijang asyik makan rumput. Raja Mahendra langsung membidik anak panahnya. Ah, kijang itu berhasil melarikan diri. Raja Mahendra mengejarnya. Namun ia terperosok masuk ke lubang yang cukup dalam. Ia berteriak sekeras-kerasnya memanggil para pengawal. Namun suaranya lenyap ditelan lebatnya hutan. Selagi Raja Mahendra merenungi nasibnya, ia terkejut melihat seseorang berdiri di tepi lubang. “Hei! Siapa kau?” tanya Raja. Orang itu tak menjawab. “Aku Raja Mahendra! Tolong naikkan aku!” pintanya dengan nada keras. “Tidak!” jawab orang itu. Raja menjadi geram. Ia ingin memanah orang itu. Namun sebelum anak panah melesat, orang itu lenyap. Tak lama kemudian, jatuhlah seutas tali. Raja mengira itu pengawalnya. Namun, ternyata orang tadi yang melempar tali. “Jadi kau mau menolongku?” “Tidak!” jawabnya lagi. Raja menjadi bingung. Katanya tidak, mengapa memberi tali? Apa boleh buat, yang penting orang itu mau menolongnya. Raja Mahendra berhasil naik. Ia mengucapkan rasa terima kasih. “Maukah kau kubawa ke kerajaan?” tawar Raja. “Tidak!” jawab si penolong. “Kalau tidak mau, terimalah beberapa keping emas.” “Tidak!” jawabnya lagi, tetapi tangannya siap menerima. Akhirnya Raja Mahendra sadar, bahwa orang itu hanya bisa bicara satu kata. Yaitu tidak. Walau berkata tidak, orang itu dibawa juga ke kerajaan. Sampai di kerajaan Raja Mahendra memanggil Patih. “Paman Patih, tolong berikan pekerjaan pada manusia satu kata ini. Ia hanya bisa berkata, tidak.” “Mengapa paduka membawa orang yang amat bodoh ini?” “Walau bodoh, ia telah menolongku ketika terperosok lubang.” Patih berpikir keras. Pekerjaan apa yang sesuai dengan orang ini. Setelah merenung beberapa saat, Patih tersenyum dan berkata, “Paduka kan bermaksud mengadakan sayembara untuk mencari calon suami bagi sang putri. Tetapi sampai kini Paduka belum menemukan jenis sayembaranya.” “Benar Paman Patih, aku ingin mempunyai menantu yang sakti dan pandai. Tetapi apa hubungannya hal ini dengan sayembara?” “Peserta yang telah lolos ujian kesaktian, harus mengikuti babak kedua. Yaitu harus bisa memasuki keputren dengan cara membujuk penjaganya.” “Lalu, siapa yang akan dijadikan penjaga keputren?” “Manusia satu kata itu, Paduka.” “Lho, ia amat bodoh. Nanti acara kita berantakan!” “Percayalah pada hamba, Paduka.” Pada hari yang ditentukan, peserta sayembara berkumpul di alun-alun. Mereka adalah raja muda dan pangeran dari kerajaan tetangga. Di babak pertama, kesaktian para peserta diuji. Dan, hanya tiga peserta yang berhasil. Ketiganya lalu dibawa ke depan pintu gerbang keputren. Patih memberi penjelasan pada mereka. Nampaknya mudah. Mereka hanya disuruh membujuk penjaga keputren sehingga dapat masuk keputren. Peserta hanya boleh mengucapkan tiga pertanyaan. “Penjaga yang baik. Bolehkah aku masuk keputren?” tanya peserta pertama. “Tidak!” jawab si manusia satu kata. “Maukah kuberi emas sebanyak kau mau, asal aku diperbolehkan masuk?” “Tidak!” Pertanyaan tinggal satu. “Kau akan kujadikan Senopati di kerajaanku, asal aku boleh masuk.” “Tidak!” ujar si manusia satu kata. Peserta pertama gugur. Ia mundur dengan lemah lunglai. Peserta kedua maju. Ia telah menyusun pertanyaan yang dianggapnya akan berhasil, “Penjaga, kalau aku boleh masuk keputren, kau akan kunikahkan dengan adikku yang cantik. Setuju?” pertayaan pertama peserta kedua. “Tidak!” “Separoh kerajaan kuberikan padamu, setuju?” “Tidak!” “Katakan apa yang kau inginkan, asal aku boleh masuk.” “Tidak!” Peserta kedua pun mundur dengan kecewa. Mendengar percakapan dua peserta yang tak mampu masuk keputren, Raja Mahendra tersenyum puas. Pandai benar patihku, katanya dalam hati. Peserta terakhir maju. Semua penonton termasuk Raja Mahendra memperhatikan dengan seksama. Raja muda itu tampak percaya diri. Langkahnya tegap penuh keyakinan.
“Wahai penjaga keputren, jawablah pertanyaanku baik-baik. Tidak dilarangkah aku masuk keputren?” tanyanya dengan suara mantap. Raja Mahendra, Patih, dan penonton terkejut dengan pertanyaan itu. Dengan mantap pula penjaga menjawab. “Tidak!” Seketika itu sorak-sorai penonton bergemuruh, mengiringi kebehasilan peserta terakhir. Si raja muda yang gagah lagi tampan. Raja Mahendra sangat senang dengan keberhasilan itu. Calon menantunya sakti dan pandai. Sayembara usai. Manusia satu kata berjasa lagi pada Raja Mahendra. Ia dapat menyeleksi calon menantu yang pandai. Walau bodoh, Raja Mahendra tetap mempekerjakannya sebagai penjaga keputren.

Kera dan kura-kura

Seekor kera dan seekor kura-kura hidup di sebuah hutan dekat sungai. Namun, kera yang satu ini mempunyai sifat yang tidak terpuji. Ia licik, suka memperalat temannya untuk kepentingan dirinya. Kera bersahabat dengan kura-kura karena ada yang diharapkan dari kura-kura. Bila bepergian ke suatu tempat, kera selalu naik di atas punggung kura-kura dengan berbagai alasan: capek, kakinya sakit dan alasan yang lain. Kura-kura tak pernah sakit hati. Kura-kura menurut saja. Kemampuan kera mengambil hati membuat kura-kura luluh dan selalu dekat dengan kura-kura. “Tanpa bantuan makhluk lain, tak mungkin kita bisa hidup,” bisik hatinya. Jika di tengah perjalanan ditemukan pohon yang sedang berbuah, kera dengan gesit memanjat pohon itu, sementara kura-kura disuruhnya menunggu di bawah. Setelah perutnya kenyang, barulah kera ingat temannya yang sedang menunggu di bawah. Hanya buah-buah yang jelek dan kulit-kulitnya yang dilempar ke bawah sambil mengatakan, “Wah kura-kura, buahnya jelek-jelek dan sudah banyak yang dimakan kelelawar sehingga tinggal kulitnya saja. Terima saja ini untukmu.” Hidup mengembara dari hari ke hari telah membuat mereka bosan. Pada suatu hari, datanglah musim kemarau panjang. Hujan tidak kunjung datang. Pohon-pohon di hutan banyak yang layu dan tidak berbuah. Kera dan kura-kura sedang berteduh di bawah pohon di pinggir sungai sambil berpikir tentang apa yang harus dilakukan menghadapi situasi seperti itu. Kera membuka percakapan. “Kura-kura, apa yang harus kita lakukan menghadapi musim kemarau ini?” tanyanya kepada si kura-kura. Kura-kura tidak menjawab karena memang kura-kura tidak mampu berpikir yang berat-berat. Akhirnya, kera melanjutkan pembicaraannya, “Sebaiknya kita menanam pisang, sebentar lagi musim hujan akan datang.” “Saya setuju,” jawab kura-kura. “Dari mana bibitnya?” tanyanya kepada kera. “Begini saja, kita menunggu di tepi sungai ini. Pada musim hujan, banyak manusia membuang anak pisang ke sungai. Nanti kalau ada yang hanyut kita ambil.” Mereka berdua setuju. Mula-mula mereka bekerja keras membuka hutan untuk ditanami pohon pisang. Setelah tanahnya siap, datanglah musim hujan. Sepanjang hari mereka di tepi sungai menunggu pohon pisang yang hanyut. Tidak seberapa lama dari jauh tampak pohon pisang hanyut. Kera berteriak, “Kura-kura cepat berenang kamu! Ambil batang pisang itu! Saya takut air dan tak bisa berenang.” “Kalau berenang saya jagonya.” kata kura-kura menyombongkan diri. “Kamulah yang beruntung bisa berenang, sedang aku tidak pandai berenang. Kalau aku pandai berenang, tidaklah engkau perlu bersusah-susah mengambil batang pisang itu. Aku tentu akan membantumu,” ujar kera dengan licik. Mendengar ucapan kera itu, hati kura-kura menjadi terharu. Oleh karena itu, ia segera berenang menarik batang pisang itu ke tepi sungai. Batang pisang itu dikumpulkan satu per satu. Setelah cukup banyak barulah ditanam. Mereka membagi dua setiap batang pisang sama Panjang agar adil. Bagian atas diambil si kera dan bagian bawah diberikan kepada kura-kura. Kera rupanya tahu bahwa buah pisang selalu ada di bagian atas. Oleh karena itu, ia mengambil bagian atas. Beberapa waktu mereka bekerja menanam pohon pisang. Kura-kura rajin sekali memelihara tanamannya, sedangkan tanaman si kera tentu saja mernbusuk dan mati sernua. Setelah kebun pisang milik kura-kura berbuah dan buahnya mulai masak, datanglah kera bertandang. “Hai kura-kura, tidakkah kau lihat pisangmu telah masak di pohon,” tanya kera bersemangat. “Ya, saya lihat, hanya saya tak mampu memanjat untuk memetiknya,” jawab kura-kura. “Apakah artinya kita bersahabat, kalau saya tidak dapat membantumu,” kata kera. Dalam hati kera, muncul akal liciknya, lebih-lebih Perulnya sudah mulai terasa lapar. Kera menawarkan diri untuk membantu kura-kura memanen pisangnya. Kurakura setuju. Dengan gesit, kera memanjat pohon pisang yang telah ranum buahnya. Di atas pohon ia makan sepuas-puasnya, sedangkan kura-kura (si pemilik kebun) dilupakannya. Ia menunggu dengan hati yang mendongkol. Kadang-kadang, kera melemparkan kulit kepada kura-kura. Hal itu dilakukannya setiap hari, sampai kebun itu habis buahnya.
Sejak itu, kura-kura merasa sakit hati. Namun, apa yang bisa dilakukannya? Sebagai makhluk Tuhan yang lemah, ia hanya bisa berdoa semoga yang curang dan khianat mendapat murka Tuhan. Mereka berpisah untuk waktu yang agak lama. Kura-kura selalu menghindar jika mendengar suara kera. Pada suatu hari yang panas, udara menjadi kering. Buah-buahan di hutan semakin berkurang. Para satwa di hutan banyak yang kelaparan dan kehausan. Apalagi kera yang rakus itu. Ia berjalan gontai mencari teman senasib sepenanggungan. Lalu ia beristirahat di bawah pohon yang rindang, di atas sebuah batu. Karena lapar dan haus, kera tidak sadar bahwa yang diduduki itu adalah punggung si kura-kura yang sedang beristirahat pula. Karena udara panas, kura-kura menyembunyikan kepalanya di bawah punggungnya yang keras itu. Si kera kemudian berteriak memanggil sahabalnya, “Kura-kuraaaaa……., di mana kamu, Kemarilah! Kita sudah lama tidak bertemu” Terdengarlah suara dari bawah pantat si kera, “Uuuuuuwuk…..”. Kera berteriak lagi, “Ooooo…. kura-kuraaa…, kemarilaaah! Aku ingin bertemu denganmu.” Terdengar lagi suara dari pantatnya, “Uuuuuuuwuk….”. Kera marah sekali. Ia mengira, suara itu adalah suara alat kelaminnya yang mengejeknya. Sebenarnya, suara itu adalah suara kura-kura yang didudukinya. Dengan geram, ia mengancam alat kelaminnya sendiri. “Jika kamu mengejekku lagi akan aku hancurkan!” ancamnya. Kemudian, ia berteriak lagi, “Kura-kuraaaaaaaaaaa…”. Mendengar suara itu marahlah si kera. la mengambil batu, lalu alat kelaminnya dipukul berkali-kali. Kera menjeritjerit kesakitan, sambil terus memukulkan batu itu ke arah alat kelaminnya. Kura-kura menjulurkan kepalanya. Ia ingin menolong, tetapi sudah terlambat. Kera sahabatnya yang licik itu telah mati.

Kisah Berpisahnya Roh dari Jasad

Dalam sebuah hadist dari Aisyah r.a katanya, "Aku sedang duduk bersila di dalam rumah. Tiba-tiba Rasulullah S.A.W datang dan masuk sambil memberi salam kepadaku. Aku segera bangun kerana menghormati dan memuliakannya sebagaimana kebiasaanku di waktu baginda masuk ke dalam rumah. Nabi S.A.W bersabda, "Duduklah di tempat duduk, tidak usahlah berdiri, wahai Ummul Mukminin." Maka Rasulullah S.A.W duduk sambil meletakkan kepalanya di pangkuanku, lalu baginda berbaring dan tertidur. Maka aku hilangkan uban pada janggutnya, dan aku dapat 19 rambut yang sudah putih. Maka terfikirlah dalam hatiku dan aku berkata, "Sesungguhnya baginda akan meninggalkan dunia ini sebelum aku sehingga tetaplah satu umat yang ditinggalkan olehnya nabinya." Maka aku menangis sehingga mengalir air mataku jatuh menitis pada wajah baginda. Baginda terbangun dari tidurnya seraya bertanya, "Apakah sebabnya sehingga engkau menangis wahai Ummul Mukminin?" Masa aku ceritakan kisah tadi kepadanya, lalu Rasulullah S.A.W bertanya, "Keadaan bagaimanakah yang hebat bagi mayat?" Kataku, "Tunjukkan wahai Rasulullah!" Rasulullah S.A.W berkata, "Engkaulah katakan!," Jawab Aisyah r.a : "Tidak ada keadaan lebih hebat bagi mayat ketika keluarnya mayat dari rumahnya di mana anak-anaknya sama-sama bersedih hati di belakangnya. Mereka sama-sama berkata, "Aduhai ayah, aduhai ibu! Ayahnya pula mengatakan: "Aduhai anak!" Rasulullah S.A.W bertanya lagi: "Itu juga termasuk hebat. Maka, manakah lagi yang lebih hebat daripada itu?" Jawab Aisyah r.a : "Tidak ada hal yang lebih hebat daripada mayat ketika ia diletakkan ke dalam liang lahad dan ditimbuni tanah ke atasnya. Kaum kerabat semuanya kembali. Begitu pula dengan anak-anak dan para kekasihnya semuanya kembali, mereka menyerahkan kepada Allah berserta dengan segala amal perbuatannya." Rasulullah S.A.W bertanya lagi, "Adakah lagi yang lebih hebat daripada itu?" Jawab Aisyah, "Hanya Allah dan Rasul-Nya saja yang lebih tahu." Maka bersabda Rasulullah S.A.W : "Wahai Aisyah, sesungguhnya sehebat-hebat keadaan mayat ialah ketika orang yang memandikan masuk ke rumahnya untuk emmandikannya. Maka keluarlah cincin di masa remaja dari jari-jarinya dan ia melepaskan pakaian pengantin dari badannya. Bagi para pemimpin dan fuqaha, sama melepaskan serban dari kepalanya untuk dimandikan. Di kala itu rohnya memanggil, ketika ia melihat mayat dalam keadaan telanjang dengan suara yang seluruh makhluk mendengar kecuali jin dan manusia yang tidak mendengar. Maka berkata roh, "Wahai orang yang memandikan, aku minta kepadamu kerana Allah, lepaskanlah pakaianku dengan perlahan-lahan sebab di saat ini aku berehat dari kesakitan sakaratul maut." Dan apabila air disiram maka akan berkata mayat, "Wahai orang yang memandikan akan roh Allah, janganlah engkau menyiram air dalam keadaan yang panas dan janganlah pula dalam keadaan sejuk kerana tubuhku terbakar dari sebab lepasnya roh," Dan jika merea memandikan, maka berkata roh: "Demi Allah, wahai orang yang memandikan, janganlah engkau gosok tubuhku dengan kuat sebab tubuhku luka-luka dengan keluarnya roh."
Apabila telah selesai dari dimandikan dan diletakkan pada kafan serta tempat kedua telapaknya sudah diikat, maka mayat memanggil, "Wahai orang yang memandikanku, janganlah engkau kuat-kuatkan dalam mengafani kepalaku sehingga aku dapat melihat wajah anak-anakku dan kaum keluargaku sebab ini adalah penglihatan terakhirku pada mereka. Adapun pada hari ini aku dipisahkan dari mereka dan aku tidakakan dapat berjumpa lagi sehingga hari kiamat." Apabila mayat dikeluarkan dari rumah, maka mayat akan menyeru, "Demi Allah, wahai jemaahku, aku telah meninggalkan isteriku menjadi janda, maka janganlah kamu menyakitinya. Anak-anakku telah menjadi yatim, janganlah menyakiti mereka. Sesungguhnya pada hari ini aku akan dikeluarkan dari rumahku dan meninggalkan segala yang kucintai dan aku tidak lagi akan kembali untuk selama-lamanya." Apabila mayat diletakkan ke dalam keranda, maka berkata lagi mayat, "Demi Allah, wahai jemaahku, janganlah kamu percepatkan aku sehingga aku mendengar suara ahliku, anak-anakku dan kaum keluargaku. Sesungguhnya hari ini ialah hari perpisahanku dengan mereka sehingga hari kiamat."

dongeng islam

1.Sombong memusnahkan PAHALA Syidad bin Ausi berkata : “Suatu ketika saya melihat Rasulullah SAW sedang menanis, lalu saya pun berkata kepada beliau, Ya Rasulullah, mengapa anda menangis?” “Ya Syidad, aku menangis karena khawatir terhadap umatku akan perbuatan syirik. Ketahuilah bahwa mereka itu tidak menyembah berhala, tetapi mereka berbuat sombong dengan aal perbuatan mereka,” jawab Rasulullah SAW. “Sebanyak tiga ribu malaikat akan naik ke langit ke tujuh membawa amal perbuatan para manusia dari puasanya, sholatnya, amalnya, dan sebagiannya. Para malikat itu mempunyai suara seperti lebah dan memilki sinar bagaikan matahari,” sabda Rasulullah lagi. Malaikat yang disertai tugas kelangit berkata kepada para malaikat penjaga : “Berdirilah kamu semua dan pukulkanlah amal perbuatan ini ke muka pemiliknya dan tutuplah hatinya. Sungguh, saya akan meghalangi sampainya kepada Tuhan, setiap amal perbuatan yang tidak dikehendaki untuk Tuhan selain daripada Allah(melakukan suatu amal bukan karena Allah).” “Bersikap sombong di kalangan ahli fiqh adlah karena manginginkan ketinggian agar mereka mendapat pujian. Di kalangan para ulama pula untuk menjadi terkenal di kota dan di kalangan umum. Allah SWT, telah memerintahan agar saya tidak membiarkan amalnya melewati saya akan sampaikan kepada saya.” Malaikat penjaga membawa amal orang - orang soleh dan kemudian dibawa oleh malaikat ke langit sehingga terbuka semua penghalang dan sampai kepada Allah SWT. Mereka berhenti di haribaan Allah dan memberikan kesaksian terhadap amal orang tersebut yang betul – betul soleh dan ikhlas karena Allah SWT. Kemudian Allah SWT berfirman yang maksudnya : “Kamu semua adalah para malaikat Hafadzah (malaikat penjaga)pada amal - amal perbuatan hamba-Ku, sedang Aku-lah yang mengawasi dan menegtahui hatinya, bahwa sesungguhnya dia menghendaki amal ini bukan untuk-Ku, laknat para malaikat dan laknat sesuatu di langit.” 2. Syetan menggoda KETEGUHAN IMAN SYEH ABDUL QADIR JAILANI adalah seorang alim ulama dan ahli sufi yang cukup dikenal keutamaan dan kemuliaan ilmunya dikalangan umat islam. Karena sikapnya yang warak atau dekat dengan Allah SWT, banyak pengikutnya yang berlebih – lebihan dalam memeuliakannya. Diceritakan suatu hari Syeh Abdul Qadir Jailani pergi meranatau seorang dir. Dalam perjalanannya mengharungi padang pasir yang panas terik itu merasa kehausan. Tiba –tiba ia melihat sebuah bejana dari perak yang melayang di udara dan diselimuti awan diatasnya lalu perlahan – lahan di hadapan Syeh Abdul Qadir Jailani. Tiba – tiba terdengar suara ghaib di angkasa : “Hai Abdul Qadir, minumlah isi bejana ini. Hal ini kami telah menghalalkan kamu makan dan minum semua yang selama ini aku haramkan. Dan telah kugugurkan semua kewajiban bagimu..” Sebagai orang yang arif, Abdul Qadir cukup tahu bahwa suara ghaib yang menyerupai wahyu itu Cuma syetan yang menggoda keteguhan imannya. “Hai mal’un pergilah engkau dari sini. Sesunguhnya aku tiada lebih muliadibandingkan dengan Nabi Muhammad SAW di sisi Allah Ta’ala. Kepada Rasulullah saja tidak mungkin berlaku ketentuan semacam itu. Barang yang diharamkan Allahselamanya tetap haram, dan kewajiban hamba kepadanya tidak pernah diugurkan termasuk pada diriku.” Ujar Syeh Abdul Qadir Jailani dengan marah dan tegas. 3. Canda Rasulullah
Rasulullah SAW bergaul dengan semua orang. Beliau bersahabat dengan seorang hamba, orang cacad, orang tua, dan anak - anak. Rasulullah bersenda gurau dan bermain – main dengan mereka. Akan tetapi beliau tidak berkata kecuali yang benar saja. Suatu hari seorang perempuan dating kepada beliau lalu berkata, “Ya Rasulullah! Naikkan saya ke atas unta,” katanya. “Aku akan naikkan engkau ke atas anak unta,” jawab Rasulullah SAW. “Ia tidak mampu,” kata perempuan itu. “Tidak, aku akan naikkan engkau ke atas anak unta,” “Ia tidak mampu.” “Bukankah unta itu juga anak unta?”, kata para sahabat yang berada di situ. Datang seorang perempuan lain, dia memberitahu Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah, suamiku jatuh sakit. Dia memohon kehadiran Anda, ya Rasulullah..” “Semoga suamimuyang dalam matanya putih,” jawab Rasulullah SAW. Perempuan itu kembali ke rumahnya. Dan dia lalu segera membuka mata suaminya. “Kenapa kamu ini?”, tanya suaminya dengan heran melihat tingkah istrinya. “Rasulullah memberitahu bahwa dalam matamu putih,” jawab istrinya menerangkan. “Bukankah semua mata ada warna putihnya?” kata suaminya lagi. Seorang perempuan lain berkata kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah , doakanlah kepada Allah agar aku dimasukkan ke dalam syurga.” “Wahai ummi fulan, syurga tidak dimasuki oleh orang tua..” jawab Rasulullah. Mendengar jawaban Rasulullah, perempuan itu langsung menangis. “Tidakkah kamu membaca firman Allah berikut ini?” Rasulullah menjelaskan. “Serta kami telah menjadikan istri – istri mereka dengan ciptaan istimewa, serta kami jadikan mereka senantiasa perawan(yang tidak pernah disentuh), yang tetap mencintai jodohnya, serta yang sebaya umurnya”. Para sahabat Rasulullah SAW suka tertawa tapi iman di dalam hati mereka bagi gunung yang teguh. Na’im adalah seorang sahabat yang paling suka bergurau dan tertawa. Mendengar kata - kata dan melihat tingkahnya, Rasulullah turut tersenyum.

Nyai Anteh sang penunggu Bulan

Nyai Anteh Sang Penunggu Bulan by PENDONGENG on FEBRUARY 8, 2010 Nyi Anteh Pada jaman dahulu kala di Jawa Barat ada sebuah kerajaan bernama kerajaan Pakuan. Pakuan adalah kerajaan yang sangat subur dan memiliki panorama alam yang sangat indah. Rakyatnya pun hidup damai di bawah pimpinan raja yang bijaksana. Di dalam istana ada dua gadis remaja yang sama-sama jelita dan selalu kelihatan sangat rukun. Yang satu bernama Endahwarni dan yang satu lagi bernama Anteh. Raja dan Ratu sangat menyayangi keduanya, meski sebenarnya kedua gadis itu memiliki status sosial yang berbeda. Putri Endahwarni adalah calon pewaris kerajaan Pakuan, sedangkan Nyai Anteh adalah hanya anak seorang dayang kesayangan sang ratu. Karena Nyai Dadap, ibu Nyai Anteh sudah meninggal saat melahirkan Anteh, maka sejak saat itu Nyai Anteh dibesarkan bersama putri Endahwarni yang kebetulan juga baru lahir. Kini setelah Nyai Anteh menginjak remaja, dia pun diangkat menjadi dayang pribadi putri Endahwarni. “Kau jangan memanggilku Gusti putri kalau sedang berdua denganku,” kata putri. “Bagiku kau tetap adik tercintaku. Tidak perduli satatusmu yang hanya seorang dayang. Ingat sejak bayi kita dibesarkan bersama, maka sampai kapan pun kita akan tetap bersaudara. Awas ya! Kalau lupa lagi kamu akan aku hukum!” “Baik Gust…..eh kakak!” jawab Nyai Anteh. “Anteh, sebenarnya aku iri padamu,” kata putri. “Ah, iri kenapa kak. Saya tidak punya sesuatu yang bisa membuat orang lain iri,” kata Anteh heran. “Apa kau tidak tahu bahwa kamu lebih cantik dariku. Jika kamu seorang putri, pasti sudah banyak pangeran yang meminangmu,” ujar putri sambil tersenyum. “Ha ha ha.. kakak bisa saja. Mana bisa wajah jelek seperti ini dibilang cantik. Yang cantik tuh kak Endah, kemarin saja waktu pangeran dari kerajaan sebrang datang, dia sampai terpesona melihat kakak. Iya kan kak?” jawab Anteh dengan semangat. “Ah kamu bisa saja. Itu karena waktu itu kau memilihkan baju yang cocok untukku. O ya kau buat di penjahit mana baju itu?” tanya putri. “Eeee…itu…itu…saya yang jahit sendiri kak.” jawab Anteh. “Benarkah? Wah aku tidak menyangka kau pandai menjahit. Kalau begitu lain kali kau harus membuatkan baju untukku lagi ya. Hmmmm…mungkin baju pengantinku?” seru putri. “Aduh mana berani saya membuat baju untuk pernikahan kakak. Kalau jelek, saya pasti akan dimarahi rakyat,” kata Anteh ketakutan. “Tidak akan gagal! Kemarin baju pesta saja bisa… jadi baju pengantin pun pasti bisa,” kata putri tegas. Suatu malam ratu memanggil putri Endahwarni dan Nyai Anteh ke kamarnya. “Endah putriku, ada sesuatu yang ingin ibu bicarakan,” kata ratu. “Ya ibu,” jawab putri. “Endah, kau adalah anakku satu-satunya. Kelak kau akan menjadi ratu menggantikan ayahmu memimpin rakyat Pakuan,” ujar ratu. “Sesuai ketentuan keraton kau harus memiliki pendamping hidup sebelum bisa diangkat menjadi ratu.” “Maksud ibu, Endah harus segera menikah?” tanya putri. “ya nak, dan ibu juga ayahmu sudah berunding dan sepakat bahwa calon pendamping yang cocok untukmu adalah Anantakusuma, anak adipati dari kadipaten wetan. Dia pemuda yang baik dan terlebih lagi dia gagah dan tampan. Kau pasti akan bahagia bersamanya,” kata ratu. “Dan kau Anteh, tugasmu adalah menjaga dan menyediakan keperluan kakakmu supaya tidak terjadi apa-apa padanya.” “Baik gusti ratu,” jawab Anteh. Malam itu putri Endahwarni meminta Nyai Anteh untuk menemaninya. “Aku takut sekali Anteh,” kata putri dengan sedih. “Bagaimana aku bisa menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal. Bagaimana kalau dia tidak mencintaiku?” “Kakak jangan berpikiran buruk dulu,” hibur Anteh. “Saya yakin gusti Raja dan Ratu tidak akan sembarangan memilih jodoh buat kakak. Dan pemuda mana yang tidak akan jatuh hati melihat kecantikan kakak. Ah sudahlah, kakak tenang dan berdoa saja. Semoga semuanya berjalan lancar.” Suatu pagi yang cerah, Anteh sedang mengumpulkan bunga melati untuk menghias sanggul putri Endahwarni. Anteh senang menyaksikan bunga-bunga yang bermekaran dan kupu-kupu saling berebut bunga. Dia mulai bersenandung dengan gembira. Suara Anteh yang merdu terbang tertiup angin melewati tembok istana. Saat itu seorang pemuda tampan sedang melintas di balik tembok taman istana. Dia tepesona mendengar suara yang begitu merdu. Ternyata pemuda itu adalah Anantakusuma. Dia sangat sakti, maka tembok istana yang begitu tinggi dengan mudah dilompatinya. Dia bersembunyi di balik gerumbulan bunga, dan tampaklah olehnya seorang gadis yang sangat cantik. Anantakusuma merasakan dadanya bergetar, “alangkah cantiknya dia, apakah dia putri Endahwarni calon istriku?” batinnya. Anantakusuma keluar dari persembunyiannya. Anteh terkejut ketika tiba-tiba di hadapannya muncul pemuda yang tidak dikenalnya. “Siapa tuan?” tanya Anteh. “Aku Anantakusuma. Apakah kau…..” Belum sempat Anantakusuma bertanya seseorang memanggil Anteh. “Anteh!!! Cepat!!! Putri memanggilmu!” kata seorang dayang. “Ya. Saya segera datang. Maaf tuan saya harus pergi,” kata Anteh yang langsung lari meninggalkan Anantakusuma. “Dia ternyata bukan Endahwarni,” pikir Anantakusuma. “Dan aku jatuh cinta padanya. Aku ingin dialah yang jadi istriku.” Beberapa hari kemudian, di istana terlihat kesibukan yang lain daripada biasanya. Hari ini Adipati wetan akan datang bersama anaknya, Anantakusuma, untuk melamar putri Endahwarni secara resmi. Raja dan Ratu menjamu tamunya dengan sukacita. Putri Endahwarni juga tampak senang melihat calon suaminya yang sangat gagah dan tampan. Lain halnya dengan Anantakusuma yang terlihat tidak semangat. Dia kecewa karena ternyata bukan gadis impiannya yang akan dinikahinya. Tibalah saat perjamuan. Anteh dan beberapa dayang istana lainnya masuk ke ruangan dengan membawa nampan-nampan berisi makanan. “Silahkan mencicipi makanan istimewa istana ini,” kata Anteh dengan hormat. “Terima kasih Anteh, silahkan langsung dicicipi,” kata Raja kepada para tamunya. Anantakusuma tertegun melihat gadis impiannya kini ada di hadapannya. Kerongkongannya terasa kering dan matanya tak mau lepas dari Nyai Anteh yang saat itu sibuk mengatur hidangan. Kejadian itu tidak luput dari perhatian putri Endahwarni. Pahamlah ia bahwa calon suaminya telah menaruh hati pada gasis lain, dan gadis itu adalah Anteh. Putri Endahwarni merasa cemburu, kecewa dan sakit hati. Timbul dendam di hatinya pada Anteh. Dia merasa Antehlah yang bersalah sehinggga Anantakusuma tidak mencintainya. Setelah perjamuan selesai dan putri kembali ke kamarnya, Anteh menemui sang putri. “Bagaimana kak? Kakak senang kan sudah melihat calon suami kakak? Wah ternyata dia sangat tampan ya?” kata Anteh. Hati putri Endahwarni terasa terbakar mendengar kata-kata Anteh. Dia teringat kembali bagaimana Anantakusuma memandang Anteh dengan penuh cinta. “Anteh, mulai saat ini kau tidak usah melayaniku. Aku juga tidak mau kau ada di dekatku. Aku tidak mau melihat wajahmu,” kata putri Endahwarni. “A..apa kesalahanku kak? Kenapa kakak tiba-tiba marah begitu?” tanya Anteh kaget. “Pokoknya aku sebal melihat mukamu!” bentak putri. “Aku tidak mau kau dekat-dekat denganku lagi…Tidak! Aku tidak mau kau ada di istana ini. Kau harus pergi dari sini hari ini juga!” “Tapi kenapa kak? Setidaknya katakanlah apa kesalahanku?” tangis Anteh. “Ah jangan banyak tanya. Kau sudah mengkianatiku. Karena kau Anantakusuma tidak mencintaiku. Dia mencintaimu. Aku tahu itu. Dan itu karena dia melihat kau yang lebih cantik dariku. Kau harus pergi dari sini Anteh, biar Anantakusuma bisa melupakanmu!” kata putri. “Baiklah kak, aku akan pergi dari sini. Tapi kak, sungguh saya tidak pernah sedikitpun ingin mengkhianati kakak. Tolong sampaikan permohonan maaf dan terima kasih saya pada Gusti Raja dan Ratu.” Anteh beranjak pergi dari kamar putri Endahwarni menuju kamarnya lalu mulai mengemasi barang-barangnya. Kepada dayang lainnya dia berpesan untuk menjaga putri Endahwarni dengan baik. Nyai Anteh berjalan keluar dari gerbang istana tanpa tahu apa yang harus dilakukannya di luar istana. Tapi dia memutuskan untuk pergi ke kampung halaman ibunya. Anteh belum pernah pergi kesana, tapi waktu itu beberapa dayang senior pernah menceritakannya. Ketika hari sudah hampir malam, Anteh tiba di kampung tempat ibunya dilahirkan. Ketika dia sedang termenung memikirkan apa yang harus dilakukan, tiba-tiba seorang laki-laki yang sudah berumur menegurnya. “Maaf nak, apakah anak bukan orang sini?” tanyanya. “Iya paman, saya baru datang!” kata Anteh ketakutan. “Oh maaf bukan maksudku menakutimu, tapi wajahmu mengingatkanku pada seseorang. Wajahmu mirip sekali dengan kakakku Dadap,” “Dadap? Nama ibuku juga Dadap. Apakah kakak paman bekerja di istana sebagai dayang?” tanya Anteh. “Ya….! Apakah….kau anaknya Dadap?” tanya paman itu. “Betul paman!” jawab Anteh. “Oh, kalau begitu kau adalah keponakanku. Aku adalah pamanmu Waru, adik ibumu,” kata paman Waru dengan mata berkaca-kaca. “Benarkah? Oh paman akhirnya aku menemukan keluarga ibuku!” kata Anteh dengan gembira. “Sedang apakah kau disini? Bukankah kau juga seorang dayang?” tanya paman Waru. “Ceritanya panjang paman. Tapi bolehkah saya minta ijin untuk tinggal di rumah paman. Saya tidak tahu harus kemana,” pinta Anteh. “Tentu saja nak, kau adalah anakku juga. Tentu kau boleh tinggal di rumahku. Ayo kita pergi!” kata paman Waru. Sejak saat itu Anteh tinggal di rumah pamannya di desa. Untuk membantu pamannya, Anteh menerima pesanan menjahit baju. Mula-mula Anteh menjahitkan baju-baju tetangga, lama-lama karena jahitannya yang bagus, orang-orang dari desa yang jauh pun ikut menjahitkan baju mereka kepada Anteh. Sehingga ia dan keluarga pamannya bisa hidup cukup dari hasilnya menjahit. Bertahun-tahun telah berlalu. Anteh kini sudah bersuami dan memiliki dua orang anak. Suatu hari di depan rumahnya berhenti sebuah kereta kencana dan banyak sekali pengawal yang menunggang kuda. Begitu pemilik kereta kencana itu melongokkan kepalanya, Anteh menjerit. Ternyata itu adalah putri Endahwarni. Putri Endahwarni turun dari kereta dan langsung menangis memeluk Anteh. “Oh Anteh, sudah lama aku mecarimu! Kemana saja kau selama ni? Kenapa tidak sekalipun kau menghubungiku? Apakah aku benar-benar menyakiti hatimu? Maafkan aku Anteh. Waktu itu aku kalap, sehingga aku mengusirmu padahal kau tidak bersalah. Maafkan aku…” tangis putri. “Gusti…jangan begitu. Seharusnya aku yang minta maaf karena telah membuatmu gusar,” kata Anteh. “Tidak. Akulah yang bersalah. Untuk itu Anteh, kau harus ikut denganku kembali ke istana!” pinta putri. “Tapi putri aku sekarang punya suami dan anak. Saya juga bekerja sebagai penjahit. Jika saya pergi, mereka akan kehilangan,” jawab Anteh. “Suami dan anak-anakmu tentu saja harus kau bawa juga ke istana,” kata putri sambil tertawa. “Mengenai pekerjaanmu, kau akan kuangkat sebagai penjahit istana. Bagaimana? Kau tidak boleh menolak, ini perintah!” Akhirnya Anteh dan keluarganya pindah ke istana. Putri Endahwarni telah membuatkan sebuah rumah di pinggir taman untuk mereka tinggal. Namun Anteh selalu merasa tidak enak setiap bertemu dengan pangeran Anantakusuma, suami putri Endahwarni. Pangeran Anantakusuma ternyata tidak pernah melupakan gadis impiannya. Kembalinya Anteh telah membuat cintanya yang terkubur bangkit kembali. Mulanya pangeran Anantakusuma mencoba bertahan dengan tidak memperdulikan kehadiran Anteh. Namun semakin lama cintanya semakin menggelora. Hingga suatu malam pangeran Anantakusuma nekat pergi ke taman istana, siapa tahu dia bisa bertemu dengan Anteh. Benar saja. Dilihatnya Anteh sedang berada di beranda rumahnya, sedang bercanda dengan Candramawat, kucing kesayangannya sambil menikmati indahnya sinar bulan purnama. Meski kini sudah berumur, namun bagi pangeran Anantakusuma, Anteh masih secantik dulu saat pertama mereka bertemu. Perlahan-lahan didekatinya Anteh. “Anteh!” tegurnya. Anteh terkejut. Dilihatnya pangeran Antakusuma berdiri di hadapannya. “Pa..pangeran? kenapa pangeran kemari? Bagaimana kalau ada orang yang melihat?” tanya Anteh ketakutan. “Aku tidak perduli. Yang penting aku bisa bersamamu. Anteh tahukah kau? Bahwa aku sangat mencintaimu. Sejak kita bertemu di taman hingga hari ini, aku tetap mencintaimu,” kata pangeran. “Pangeran, kau tidak boleh berkata seperti itu. Kau adalah suami putri Endahwarni. Dia adalah kakak yang sangat kucintai. Jika kau menyakitinya, itu sama saja kau menyakitiku,” kata Anteh sambil memeluk Candramawat. “Aku tidak bisa… Aku tidak bisa melupakanmu! Kau harus menjadi milikku Anteh! Kemarilah biarkan aku memelukmu!” kata pangeran sambil berusaha memegang tangan Anteh. Anteh mundur dengan ketakutan. “Sadarlah pangeran! Kau tidak boleh mengkhianati Gusti putri.” Namun pangeran Ananta kusuma tetap mendekati Anteh. Anteh yang ketakutan berusaha melarikan diri. Namun pangeran Anantakusuma tetap mengejarnya. “Oh Tuhan, tolonglah hambaMu ini!” doa Anteh, “Berilah hamba kekuatan untuk bisa lepas dari pangeran Anantakusuma. Hamba tahu dia sangat sakti. Karena itu tolonglah Hamba. Jangan biarkan dia menyakiti hamba dan kakak hamba!”
Tiba-tiba Anteh merasa ada kekuatan yang menarik tubuhnya ke atas. Dia mendongak dan dilihatnya sinar bulan menyelimutinya dan menariknya. Pangeran Anantakusuma hanya bisa terpana menyaksikan kepergian Anteh yang semakin lama semakin tinggi dan akhirnya hilang bersama sinar bulan yang tertutup awan. Sejak saat itu Nyai Anteh tinggal di bulan, sendirian dan hanya ditemani kucing kesayangannya. Dia tidak bisa kembali ke bumi karena takut pangeran Anantakusuma akan mengejarnya. Jika rindunya pada keluarganya sudah tak dapat ditahan, dia akan menenun kain untuk dijadikan tangga. Tapi sayang tenunannya tidak pernah selesai karena si kucing selalu merusaknya. Kini jika bulan purnama kita bisa melihat bayangan Nyai Anteh duduk menenun ditemani Candramawat. Begitulah kisah Nyai Anteh sang penunggu bulan.